Till Death do Us Part

Till Death do Us Part

Hari ini begitu membuka Facebook, saya terkejut membaca status seorang teman kuliah master. Suaminya 'berpulang' keharibaan Allah SWT. Saya memang tidak terlalu akrab karena beda kelas, tetapi tetap sedih, mengingat usianya yang sepantar saya dan usia putranya yang hanya berselisih beberapa bulan lebih tua dari Ziqri. 

Saya tidak tahu pasti apakah teman saya sudah membuka kantor notarisnya atau belum, tapi saya yakin kehilangan suami pastinya lebih dalam dari kegamangan masalah materi. Dan ujung-ujungnya saya jadi baper sendiri. Seandainya saya yang ada di posisi teman saya, saya tidak bisa membayangkan kesedihan kehilangan cinta dalam hidup saya; Ziqri masih kecil dan sangat dekat dengan ayahnya, mampukah saya membimbingnya agar menjadi anak shaleh sendirian? Pun saya belum buka kantor sendiri. 

Saya jadi teringat percakapan saya dengan suami beberapa minggu lalu, sepulangnya dari acara 40 harian tetangga yang 'berpulang' sewaktu hendak melahirkan : 
N : "Yank, kalo ada apa-apa dengan diriku, tolong asuh Ziqri baik-baik. Pokoknya dia harus tetap dengan dirimu, jangan dititipkan dengan salah satu anggota keluarga lain" 
Mamase : " Iya lah yank. Kalo ada apa-apa dengan diriku, dirimu juga asuh Ziqri baik-baik, jangan nikah lagi" (sambil cengengesan
N : "Hah? Eh, koq gitu? Diriku ga ada pesan larangan 'nikah lagi' lho! Hoahaha" 
M: "Iya dong, habisnya dirimu ne ada-ada aja. Kan kita (Insya Allah) sama-sama sampai tua, nah terus diriku yang 'pergi' duluan, ngapain pesan-pesan gitu sama diriku" 
N : "Iih.. Pede banget! Sendirinya ga mau jadi duda, eh, diriku malah diminta (amit-amit *ketok meja)* ngejanda terus.. Hoahaha"
M : "Ya iyalah, kalo dah tua gitu biasanya perempuan mana mikir nikah lagi, lagian mana ada yang mau.. Hoahahaha" 
N : "Grrrhhh.."

Saya sih waktu itu malah jadi kzl, soalnya who knows the future kan? Emang saya sih yang ngebahas topik ini duluan. Suami memang males mikir yang aneh-aneh, prinsip hidupnya positif thinking terus jalani aja kehidupan sebaik-baiknya. Tapi kadang masa depan tetap harus direncanakan, yang pahit-pahitnya sekalipun. 

Setelah saya pikir sekarang, maybe Mamase yang memang mengenal saya dengan baik, punya alasannya sendiri "berwasiat (?)" begitu :
-Cintanya posesif hingga maut memisahkan pun, saya ga boleh menikah lagi supaya kelak bisa berjumpa lagi dengannya di Jannah. Soalnya sepengetahuan saya, lelaki yang poligami dapat berjumpa dengan seluruh istrinya, tetapi wanita yang menikah lebih dari sekali berhak memilih salah satu dari suami yang disukainya.
 -Mamase juga ga mau saya sedih yang berlarut-larut bila ditinggalkan, saya harus move on dan fokus dengan Ziqri (and only Ziqri)
-dan yang terakhir ne saya yang pede jaya.. si Mamase yang ga mau kehilangan saya duluan (eciyeeeee...). Serius lho, walaupun dese bakal jadi duren alias duda keren tapi pasti ribet ngebayangin kembali single sambil mengasuh Ziqri. 

Wallahualam bi Shawab. 
Shall we lets the future bring what will gonna happen. 
Anyway, Innalillahi wa inna illahi rojiun.
My deepest condolences for C and dear N